Lemahnya Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Pinjaman Online Oleh : M. Hadiyansyah, S.H., C. NSP

Kopatas.news | Pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah mengalami penurunan yang sangat signifikan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Penurunan pertumbuhan ekonomi ini, 00disebabkan oleh turunnya sejumlah ekspor Indonesia, salah satunya ke China dan Amerika Serikat, dua negara tujuan ekspor terbesar Indonesia. Hal ini merupakan dampak dari pandemi wabah virus corona yang membuat sejumlah negara melakukan lockdown sehingga perdagangan ekspor impor terdampak luas.

Penurunan pertumbuhan ekonomi ini juga berdampak kepada jumlah populasi, tingkat inflasi dan biaya hidup yang semakin tinggi di Indonesia. Dimana hal ini juga menyebabkan maraknya Pinjaman Online untuk memenuhi kebutuhan sosial. Perkembangan teknologi yang tidak terbatas di era digital sekarang ini, semakin lengkap dengan hadirnya salah satu bentuk penerapan teknologi informasi di bidang keuangan, yaitu aplikasi Pinjaman Online. Pinjaman Online merupakan fasilitas pinjaman uang oleh penyedia jasa keuangan yang terintegrasi dengan teknologi informasi, mulai dari proses pengajuan, persetujuan hingga pencairan dana dilakukan secara online atau melalui konfirmasi SMS dan/atau telepon. Pinjaman online hadir pertama kali di Indonesia pada akhir Tahun 2014 yang dipelopori oleh Perusahaan Fintech (Financial Technology). Kemudian pada tahun berikutnya Bank dan Lembaga Keuangan pun ikut menawarkan berbagai produk pinjaman mudah dengan proses cepat yang tentunya terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dasar hukum Pinjaman Online diatur pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Dengan adanya hal tersebut Pinjaman Online menjadi salah satu produk finansial, yang paling diminati masyarakat Indonesia saat ini karena memiliki proses pengajuan yang cepat, syarat mudah dan juga praktis. Hal ini juga mendorong Bank, Fintech dan Lembaga Keuangan lainnya untuk menawarkan Pinjaman Online cepat cair untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Masyarakat tak perlu lagi mendatangi Bank dengan mengajukan permohonan secara langsung untuk mendapatkan pinjaman, proses peminjaman uang cukup diakses melalui Smartphone, seperti Apple Store (IOS) atau Google Play Store (Android) maupun laptop yang terkoneksi dengan internet.

Banyak orang berpikir bahwa Pinjaman Online ini adalah solusi yang mudah dan cepat untuk mendapatkan uang. Namun ternyata dibalik kenyamanan ini, tentu ada konsekuensi dan risiko yang akan diterima oleh pelanggan jika mereka melanggar kewajiban mereka. Perkembangan industri fintech ini juga lekat dengan stigma negatif dari masyakarat khususnya dalam cara penagihan. Permasalahan Pinjaman Online atau Financial Technology Peer To Peer Lending (Fintech P2P) kian hari terus menjadi sorotan publik. Berbagai kasus pelanggaran Perusahaan Fintech mulai bermunculan di media massa. Bentuk pelanggaran oleh Perusahaan Fintech ini juga beragam jenisnya. Mulai dari penagihan intimidatif (Pasal 368 KUHP dan Pasal 29 jo 45 UU ITE), penyebaran data pribadi (Pasal 32 jo Pasal 48 UU ITE),tercantum dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 26 bahwa pihak penyelenggara bertanggung jawab menjaga kerahasiaan, keutuhan dan ketersediaan data pribadi pengguna serta dalam pemanfaatannya harus memperoleh persetujuan dari pemilik data pribadi kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Sanksi terhadap pelanggaran data pribadi mengacu pada Pasal 47 ayat (1), yaitu sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda, kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu, pembatasan kegiatan usaha dan pencabutan izin.

Masyarakat awam hukum tentunya merasa khawatir menghadapi permasalahan hukum tersebut. Di sisi lain, perlindungan hukum bagi nasabah Pinjaman Online merupakan aspek serius untuk ditangani oleh pihak berwajib. Perlindungan Pengguna Layanan berdasarkan Pasal 29 POJK 77/2016, Penyelenggara wajib menerapkan prinsip dasar dari perlindungan Pengguna yaitu, transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data, serta penyelesaian sengketa Pengguna secara sederhana, cepat dan biaya terjangkau.

Bagi Penyelenggara atau Perusahaan Fintech dapat dikenakan sanksi apabila melanggar ketentuan Pasal 43 dan Pasal 47 POJK 77/2016, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43:

a. melakukan kegiatan usaha selain kegiatan usaha Penyelenggara yang diatur dalam Peraturan OJK ini;

b. bertindak sebagai Pemberi Pinjaman atau Penerima Pinjaman;

c. memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain;

d. menerbitkan surat utang;

e. memberikan rekomendasi kepada Pengguna;

f. mempublikasikan informasi yang fiktif dan/atau menyesatkan;

g. melakukan penawaran layanan kepada Pengguna dan/atau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan Pengguna; dan

h. mengenakan biaya apapun kepada Pengguna atas pengajuan pengaduan.

Pasal 47:

Atas pelanggaran

kewajiban dan larangan dalam peraturan OJK ini, OJK berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap Penyelenggara berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;

c. pembatasan kegiatan usaha; dan

d. pencabutan izin.

Terkait hal tersebut, permasalahan ini termasuk kategori perjanjian utang-piutang sehingga bukan ranah pidana melainkan perdata. Untuk itu perlindungan hukum bagi nasabah Pinjaman Online masih lemah dan konsumen masih banyak dirugikan, karena sanksi terhadap penyelenggara atau Perusahaan Fintech masih sebatas sanksi administratif. Terhadap nasabah yang ingin melakukan pengaduan maka dapat disampaikan kepada lembaga terkait kerugian sebagai konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: